Oleh Zulfaridha
Hanifah, Ni’maturrohmah
A. Pendidikan Masa Bani Umayyah
Secara esensial,
pendidikan Islam pada masa dinasti Umayah ini hampir sama dengan pendidikan pada
masa Khulafaurasyidin. Hanya saja
perhatian para raja di bidang pendidikan agaknya kurang memperlihatkan
perkembangan yang maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak diatur oleh
pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam.
Sastra Arab baik dalam bidang syair, pidato, dan seni prosa, mulai menunjukkan
kebangkitannya. Para raja mempersiapkan tempat balai-balai pertemuan penuh
hiasan yang indah dan hanya dapat dimasuki oleh kalangan sastrawan dan
ulama-ulama terkemuka[1].
Pada masa Dinasti Bani
Umayyah belum ada pendidikan secara formal. Putra-putra khalifah Bani Umayyah
biasanya akan “disekolahkan” ke Badiyah, gurun Suriah untuk
mempelajari bahasa Arab murni, dan mendalami puisi. Kesanalah Muawiyah
mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya, Yazid.
Masyarakat luas memandang
orang yang dapat membaca dan menulis bahasa Aslinya, bisa menggunakan busur dan
panah, dan pandai berenang sebagai seorang terpelajar. Orang semacam itu
disebut dengan al-kamil, yang sempurna. Kemampuan berenang sangat
dihargai terutama bagi mereka yang hidup di daerah pantai Mediterania.
Nilai-nilai utama yang ditanamkan dalam pendidikan, adalah keberanian, daya
tahan saat tertimpa musibah (shabr), menaati hak dan kewajiban tetangga
(jiwar), menjaga harga diri (muru’ah), kedermawanan dan
keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan dan pemenuhan janji. Kebanyakan
nilai tersebut sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan orang Badui.
Dalam masyarakat luas yang
hendak memperoleh pendidikan, dalam pengertian masa itu, akan menggunakan
masjid untuk mempelajari al-Qur’an dan Hadis. Karena itu, guru-guru paling
pertama dalam Islam adalah para pembaca al-Qur’an(qura’). Pada awal 17
H/ 638 M, khalifah Umar mengirimkan qura’ ke berbagai tempat, dan menginstruksikan
agar masyarakat belajar kepada mereka di masjid setiap hari Jum’at.[2]
1. Kurikulum Pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi. Desentrasi artinya pendidikan tidak hanya terpusat di
ibu kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah yang
telah dikuasai seiring dengan ekspansi teritorial.[3]
Pada masa bani Umayyah, pakar pendidikan Islam menggunakan kata Al-Maddah untuk
pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan
serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat
tertentu.
Sejalan dengan perjalanan waktu pengertian kurikulum mulai berkembang dan
cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa.
Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran,
proses belajar dan mengajar serta evaluasi. Berikut ini adalah macam-macam
kurikulum yang berkembang pada masa bani Umayyah:
a.
Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata
pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat
pendidikan yang bermacam-macam. Pertama,
karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun
untuk tingkat penghabisan, kecuali Alquran yang terdapat pada kurikulum. Kedua, kesukaran diantara membedakan
fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang
mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan.
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam
pendidikan Islam, tetapi tidak hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan
berakhir di diskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh
seluruh umat Islam. Di lembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis
disamping Alquran. Kadang diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh.[4]
b.
Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum pendidikan tinggi (halaqah) bervariasi
tergantung pada syaikh yang mengajar. Para murid tidak terikat untuk
mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada
mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas untuk mengikuti
pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang
lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Pendidikan jenis ini disebut
pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan
utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Alquran dan agama.[5]
Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu
agama (al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-ulum
al-aqliyah).
2. Metode-metode pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah
Pada
masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah tidak jauh berbeda dengan Daulah Bani Umayyah,
metode pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi empat macam,
yaitu:
a. Metode
lisan
Metode
lisan dapat berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan diskusi. Dikte (imla)
adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena dengan
imla ini peserta didik mempunyai catatan yang akan membantunya ketika ia
lupa. Ceramah (al-sama’) adalah guru menjelaskan isi suatu buku
dengan hafalan, sedangkan peserta didik mendengarkannya. Qira’ah biasanya
digunakan untuk belajar membaca. Diskusi merupakan metode yang khas pada
masa ini.
b. Metode
menghafal
Metode
menghafal merupakan metode yang peserta didik-peserta didik harus membaca
secara berulang-ulang pelajarannya hingga pelajaran tersebut dihafalnya.
Sehingga dalam proses selanjutnya, peserta didik harus mengkontekstualisasikan
pelajaran yang telah dihafalnya.
c. Metode
tulisan
Metode tulisan dapat dikatakan sebagai
pengkopian buku-buku ulama. Dalam pengkopian terjadi proses intektualisasi hingga
tingkat penguasaan ilmu peserta didik semakin tinggi, karena dalam pengkopian
tidak semata-mata menulis saja dan melakukan telaah terhadap buku tersebut.
Metode tulisan ini juga menguntungkan
d. Rihlah
Metode rihlah adalah
metode mencari hadis yang tersebar ke seluruh daerah pada masa Umar bin Abdul
Aziz karena mulai ada orang-orang menyelewengkan makna hadis, sehingga muncul
ilmu nahwu.
3. Lembaga pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah
a. Kuttab/
Maktab
Kuttab/
Maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis.
Sedangkan kataba/ maktab berarti tempat untuk menulis, atau tempat dimana
dilangsungkan kegiatan tulis menulis. Kebanyakan para ahli pendidikan Islam
sepakat bahwa keduanya merupakan istilah yang sama dalam arti lembaga pendidikan
Islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkat
pada pengajaran Alquran dan pengetahuan agama tingkat dasar.
b. Masjid
Semenjak
berdirinya pada masa Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, masjid telah
menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang
menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun yang lebih penting adalah
sebagai lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal
perkembangannya dipakai sebagai sarana informasi dan penyampaian doktrin ajaran
Islam. Peranan masjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa
terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya tetap dan mampu untuk
memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang haus akan ilmu
pengetahuan.
Pada
Dinasti Bani Umayyah, masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan
tingkat tinggi setelah khuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran,
Tafsir, Hadist dan Fiqh. Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa,
ilmu hitung dan ilmu perbintangan.
c. Majelis
Sastra
Majelis
sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan
hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka.
Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk
dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan.
d. Pendidikan
Istana
Pendidikan
yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para
pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk
memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada
sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya
diatur oleh guru dan orang tua murid.
e. Rumah
Guru
Rumah
sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk kegiatan belajar mengajar. Namun para
ulama di zaman klasik (bani Umayyah dan bani Abbasiyah) banyak yang
mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar mengajar dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini umumnya disebabkan karena ulama yang bersangkutan
tidak memungkinkan memberikan pelajaran di masjid, sedangkan para pelajar
banyak yang berniat untuk mempelajari ilmu darinya.
f. Badiah
Yaitu
tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika
khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan Arabisasi maka muncul istilah
Badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai
dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan
anaknya ke Badiah untuk belajar bahasa Arab bahkan ulama juga pergi ke sana di
antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad.
4. Profil guru pada masa Bani Umayyah
Pada masa Umayyah, ilmu menjadi sesuatu yang penting,
sehingga masyarakat banyak antusias dalam menuntut ilmu kepada guru-guru yang
dianggap tsiqah (terpercaya) dan memiliki keluasan ilmu yang tidak
diragukan. Menurut Al-Jahiz dalam Ziauddin Alavi, guru dapat diklasifikasikan
ke dalam 3 golongan, yaitu :
a. Para
mu’allim kuttab (guru sekolah anak-anak)
Mempunyai
status sosial yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kualitas keilmuan mereka
yang dangkal dan kurang berbobot. Namun tidak semua demikian, ada sebagian
diantara mereka yang ahli di bidang sastra, ahli khat dan fuqaha. Mereka inilah
golongan guru muallim al-kuttab yang dihormati dan dihargai seperti: Al-Hajaja,
Al-Kumait, Abdil hamid Al-Katib, Atha bin Rabah dan lain-lain.
b. Para
guru yang mengajar para putra mahkota (Muaddib),
Berbeda
dengan muallim al-kuttab, para muaddib mempunyai status sosial yang tinggi,
bahkan tidak sedikit para ulama yang mendapat kesempatan untuk menjadi muaddib.
Hal ini disebabkan karena untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat, di
antaranya adalah alim, berakhlak mulia, dan dikenal masyarakat.
c. Para
guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah
Guru-guru
dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang
tinggi di hadapan masyarakat. Hal ini disebabkan penguasaan mereka terhadap
ilmu pengetahuan yang begitu mendalam (rasikh) dan berbobot. Di antara
mereka adalah guru ilmu syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan sebagainya.
Terdapat beberapa guru dari golongan ini yang terkenal di kalangan masyarakat,
diantaranya adalah Abul Aswad Ad-Duali, Hasan Al-Basri, Abu Wadaah, Syuraik
Al-Qadhi, Muhamad ibn Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud, dan lain sebagainya.
Tiga
golongan guru yang dikemukakan Al-Jahiz menggunakan penilaian sudut pandang
sosial guru pada masa tersebut. Sudah menjadi tradisi Islam pada masa klasik
bahwa guru tidak pernah memberikan waktu kapan peserta didik harus selesai
belajar kepadanya, kecuali ia telah menyelesaikan kitab yang dikajinya
(khatam). Peserta didik diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan
kapan saja, bahkan guru tidak pernah menawarkan pelajaran secara khusus yang
harus diselesaikan oleh murid pada waktu tertentu.[6]
5. Materi pendidikan pada masa Bani Umayyah
a. Ilmu
agama, seperti: Al-Qur’an, Haist, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadist terjadi
pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami
perkembangan pesat.
b. Ilmu
sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup,
kisah, dan riwayat.
c. Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala
ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, sharaf dan lain lain
d. Bidang
filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing,
seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan
dengan itu, serta ilmu kedokteran.
6. Kebijakan pemerintah pada masa Bani Umayyah
Para penguasa dan pemimpin Muslim memiliki perhatian yang besar terhadap
ilmu pengetahuan sejak masa Khulafaur Rasyidin. Mereka mendirikan dan
menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan, termasuk
lembaga-lembaganya. As-Suffah yang menjadi model pendidikan Islam ketika Nabi
berada di Madinah tersebar keluar Madinah sejalan dengan persebaran masjid. Di
daerah-daerah baru pada masa bani Umayyah dimana bahasa Arab bukan bahasa
pertama dan Alquran belum dikenal, pembangunan lembaga pendidikan Islam,
seperti kuttab dan masjid menjadi tujuan utama para khalifah dan gubernur,
sehingga biaya pembangunan ditanggung
pemerintah. Banyak sekali dana yang dialokasikan untuk mendirikan dan
memelihara sekolah-sekolah ini dengan cara memberikan beasiswa yang besar
kepada murid yang berhak menerimanya.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Hitti,
Philip K. History of The Arabs,terj R. Cecep Lukman Yasin dkk. Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Langgulung,
Hasan. Asas –Asas Pendidika Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992.
Rahman,
Fazlur. Islam. Bandung: Penerbit
Pustaka, 1994.
Suwendi.
Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004.
Anonymous
(tanpa nama). Sistem Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah. (online)
http://uusahmadhusaini.blogspot.com/2011/11/sistem-pendidikan-islam-pada-masa-bani.html,
diakses pada 14 Nopember 2013.
http://ibnu-safruddin.blogspot.com/2012/12/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa-bani_9.html.Diakses 14 Nopember 2013.
http://karyaulama.blogspot.com.
Diakses 14 Nopember 2013.
http://mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.com/2013/12/pendidikan-masa-dinasti-umayyah.html
[1] Suwendi, Sejarah & Pemikiran
Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004 ), 15.
[2] Philip K. Hitti, History of The
Arabs,terj R. Cecep Lukman Yasin dkk (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2005)316-317
[3] http://karyaulama.blogspot.com.
Diakses 14 Nopember 2013.
[6] Anonymous (tanpa
nama). Sistem Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah. (online)
http://uusahmadhusaini.blogspot.com/2011/11/sistem-pendidikan-islam-pada-masa-bani.html,
diakses pada 14 Nopember 2013.
[7] http://ibnu-safruddin.blogspot.com/2012/12/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa-bani_9.html. Diakses 14 Nopember
2013.
Sign up here with your email